Berthold Damshäuser 
Translator

on Lyrikline: 17 poems translated

from: indonésien, allemand to: allemand, indonésien

Original

Translation

Surat Pembaca

indonésien | Agus R. Sarjono

Redaksi yang terhormat
Izinkan saya menyampaikan keluhan
dan sedikit saran. Burung bangau
di tepi danau itu sudah sembilan malam
mencangkung sendirian, hingga katak
dan ikan-ikan tak berani bercinta
padahal purnama begitu indahnya.

Juga di tepi padang, sekuntum kembang
tersedu-sedu sendirian, sembilan lambaian
yang lalu tepat di tikungan jalan
ke arah hutan. Jingga kelopaknya terbiar
di sela belukar tanpa ada yang peduli
padahal setiap hari ia menghias diri
dengan embun pagi.

Saya sarankan agar remang rembulan
yang mengambang sendu
di sudut kolam itu disandingkan saja
dengan rusa remaja yang termangu
sendirian di tepian hutan, padahal
para pemburu sudah lama berlalu
membawa rusa jantan kasmaran
yang rubuh tersambar peluru.

Demikian surat saya, semoga ada
manfaatnya bagi pembaca
maupun sepasang kupu-kupu
yang terjebak di kaca jendela kamar,
padahal cuaca di luar
begitu nyaman, sejuk, segar.

© Komodo Books
from: Surat-surat Kesunyian
Komodo Books, 2015
Audio production: Haus für Poesie / 2015

Leserbrief

allemand

Verehrte  Redaktion,
gestatten Sie mir, Ihnen eine Beschwerde zu übermitteln,
nebst  einigen  Anregungen. Die Kraniche
am Seeufer stehen nun schon neun Nächte lang
einsam, allein und einbeinig herum, so dass die
Frösche und Fische trotz Vollmonds
auf ihr Liebesspiel verzichten.

Und am Feldrand steht eine Blume,
traurig und einsam, schon seit neun
blinzelnden Blicken, genau dort,
wo der Weg in den Wald abbiegt.
Welche Verschwendung ihrer lila Blütenpracht,
denn niemand nimmt Notiz,
dabei schminkt sie sich
allmorgendlich mit  frischem Tau.

Ich rege an, den melancholischen
Mondschein, der sich widerspiegelt auf dem Teich,
anzuvermählen jener jungen Hirschkuh,
die am Waldrand immer noch so traurig sinnt,
obwohl die Jäger schon vor Wochen
das Aas des Hirschbocks weggeschafft,
der unter ihren Kugeln tot zusammenbrach.

Soweit mein Schreiben,
möge es nutzbringend sein,
für Ihre Leser,
aber auch für das Schmetterlingspärchen
das in meinem Zimmer gefangen ist,
immer wieder gegen die Fensterscheibe prallt,
wo doch draußen
allerschönstes Wetter herrscht.

Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser
aus: Gestatten, mein Name ist Trübsinn. Gedichte von Agus R. Sarjono.
Berlin: regiospectra Verlag 2015

Surat Lamaran

indonésien | Agus R. Sarjono

Perkenalkan nama saya sendu
dengan satu dua keriangan.
Saya terampil menangani lara
kenangan-kenangan tersisa,
dan mengemas melankolia.

Adapun kehampaan, rasa kosong
dan sia-sia, serta yang berkaitan
dengan ratapan, dapat saya tangani
sebagai tambahan pekerjaan.
Tentu untuk ini saya perlukan
tunjangan tambahan: sepotong senja
dengan sebaris tipis warna jingga.

Saya ajukan lamaran ini sepenuh hati
dan mohon kiranya dapat diterima.
Sebagai lampiran, saya sertakan di sini
segaris luka lama: pedih dan abadi
dari cemas dukana tiada bertepi.

© Komodo Books
from: Surat-surat Kesunyian
Komodo Books, 2015
Audio production: Haus für Poesie / 2015

Bewerbungsschreiben

allemand

Gestatten, mein Name ist Trübsinn,
mit ein paar Spritzern guter Laune.
Ich bin geschickt im Management
von Kummer, allen Sachverhalten,
die man nicht verdrängen kann,
zudem im Verwalten von Melancholie.

Das wäre mein Hauptarbeitsfeld.
Um Angelegenheiten wie innere Leere,
um den Eindruck, alles umsonst zu tun,
kümmre ich mich gerne in Überstunden.
Das Entgelt dafür wäre:
ein Schälchen Abendrot
mit einer dünnen Schicht von Purpur.

Mir ist es ernst mit dieser Bewerbung,
ich rechne mit Einstellung.
In der Anlage füge ich bei:
die Spuren einer alten Wunde,
beißend, unvergänglich,
aus namenloser Trauer rührt sie her.

Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser
aus: Gestatten, mein Name ist Trübsinn. Gedichte von Agus R. Sarjono.
Berlin: regiospectra Verlag 2015

No Smoking Poem

indonésien | Agus R. Sarjono

Mengapa sulit sekali untuk merokok di sini?
Segalanya terbatas, seperti aksesku padamu.
Mengapa selalu dan selalu, kalbuku mencandu
hangat tubuhmu. seperti paru-paru mendamba
rokok kretek sepenuh dada, dalam hisapan kuat,
ketagihan akan racun cintamu.

Tahun-tahun berlalu, kau dan aku
abadi terinfeksi: tapi, engkau
hanya milikku sendiri.

Di tubir takdir, di hamparan kekhidmatan
lenganmu kuraih, pesonamu kutagih,
seperti meraih tiap denyut nadi derita
di bentangan sejarah manusia.

Pada setiap hisap asap rokok, kusadari
kau satu-satunya cuma,
mempelai yang kulamar tuk menikahi langit bahagia
dan nestapa tak terpermanai. Tiada tanda larangan
merokok, tiada tanda larangan mencinta
sanggup menghentikan bara cintaku
padamu.

© Komodo Books
from: Kopi, Kretek, Cinta
Komodo Books, 2013
Audio production: Haus für Poesie / 2015

No Smoking Poem

allemand

Warum fällt das Rauchen hier so schwer?
Alles ist versperrt, auch mein Weg zu dir.
Warum verlangt‘s mich, ohne Unterlass,
nach der Wärme deines Leibes?
Der Lunge gleich, die sich verzehrt
nach Zigaretten mit dem Duft von Nelken,
so giere ich nach tiefen Zügen,
süchtig nach dem Gift deiner Liebe.

Jahre zogen vorüber, ein Verlangen
knechtet uns; es mengt uns.

An der Schlucht des Schicksals,
in den Ebenen der Andacht,
ergreif ich deinen Arm, verlange deinen Zauber,
als wolle ich den Pulsschlag allen Leids
ertasten, das die Geschichte durchtönt.

In jedem meiner Züge spüre ich,
dass du die eine bist, die eine Braut,
um die ich warb, um Hochzeit einst zu halten
mit allem Glück und allem Leid der Himmel.
Kein Rauchverbot und kein Verbot der Liebe
vermag die Flamme meiner Sucht nach dir
jemals zu löschen.

Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser
aus: Gestatten, mein Name ist Trübsinn. Gedichte von Agus R. Sarjono.
Berlin: regiospectra Verlag 2015

Dumas

indonésien | Agus R. Sarjono

              Pameran buku Jules Verne
              di Toko Buku Monte Cristo

Pada suatu hari tersebutlah kisah
seorang raja yang gundah di samping selingkuh istri
dan para panglima. Maka keluarlah perintah
untuk mengasah senjata, menyiapkan tentara
dan mengatur barisan panah. Sebuah tour kekuasaan
tengah disiapkan, ucap Dumas
sambil menghirup pipanya dengan nyaman
dekat perapian yang menyala.
Ketika barisan tentara bergerak
dan pedang berkilau-kilau di bawah surya,
ada yang mengendap-endap
ke peraduan sang permaisuri jelita, seperti....

Cerita yang lapuk dan kurang inspirasi: cerewet
dan tanpa teknologi, potong Jules Verne.
Mari kukisahkan perjalanan menyelam
puluhan ribu mil di bawah laut, berkelana
ke pusat bumi atau mengelilingi dunia
dalam 80 hari. Bayangkan: Dunia!
bukan cinta dan kesumat yang serba berlarat-larat
di ranjang kekuasaan. Kisah-kisah cemar
dan menjemukan.

Tapi anak muda, apa yang kau tahu soal dunia?
Gumam Dumas, menahan sabar. Sttt. Kemarilah
akan kukisahkan cerita-cerita simpanan
kepahlawanan dan skandal
di lorong-lorong istana. Tahukah engkau
jenderal perkasa itu sebenarnya.... Sudahlah
Pak Tua. Mari kuberi tahu Anda
perkara menghitung ketepatan hari
dan mengurus ditel rencana. Mana mungkin
dada montok dan liur jendral atau bangsawan
bisa membawa kita ...

Anak muda! Peduli setan dengan perjalanan
ke bawah lautmu. Jika pedang para Jenderal
sudah dihunus, apakah kau pikir para tokohmu
masih berani muncul kembali ke permukaan laut.
Tapi Pak tua, dengan sedikit ilmu hitung,
seribu pedang dan orang pandir
bisa berbaris di belakangmu.
Secara teknologis, persoalan politik adalah…

Belum selesai Jules Verne menjelaskan perkara
pipa Dumas sudah melayang ke jidatnya.
Jules Verne menjambret asbak
dan melemparkannya ke hidung Dumas.
Perkelahian tak terhindarkan. Di luar gerimis
dan suhu membeku. Bagaimana

jika kubacakan sajak-sajakku, nyanyian negeri tropis
semacam selingan bagi Paris?
Serentak keduanya menoleh padaku.
Hei Pendatang baru! Cukuplah
kepala Si cantik Antoinette yang menggelinding
kian-kemari di hati kami. Abad-abad lewat
tapi masih kautuliskan juga
kisah-kisah terbelakang, cerita-cerita
semacam bangsa yang repot belajar
jadi manusia. Aku yakin Si Pandir Jules Verne ini
tak bakal berani berkeliling di sana
berapa hari pun waktunya. Dan ha ha ha
mana dia punya nyali menyelam tiga depa saja
di kedalaman airmata berbau amis lautmu sana.

Tapi Pak Tua, hardik Jules Verne, aku yakin
Si Monte-Cristo juga tiga Musketeermu
tak bakal berani jadi ksatria dan bangsawan
di sana. Bayangkan! Bahkan Si Ageng Mangir
sudah menjadi mantu raja dan takluk pula,
toh kepalanya pecah berhamburan
di bawah kaki sang mertua.

Saudara-saudara, beri aku kesempatan bicara
sebentar saja. Aku memang dari dunia ketiga
tapi sebenarnya ada banyak harapan
hati baik dan masa depan, tunggu lah sejenak lagi
kemiskinan dan kekerasan akan tinggal berdebu
di ruang museum dan kitab lama,
akan kami bangunkan negeri kami
sebuah masa depan yang ….

Aku termangu. Tak ada lagi Dumas dan Verne.
Toko buku Monte Cristo telah jauh di belakangku.
Di depanku lengang. Kesiur angin
dan dingin menjulang
seperti kubah Sacre Ceur. Kulekapkan
mantelku sambil tertatih
mencari jalan pulang.

© Komodo Books
from: Lumbung Perjumpaan
Komodo Books, 2011
Audio production: Haus für Poesie / 2015

Dumas

allemand

Einst war ein König sehr betrübt darüber,
dass seine Gattin ihn betrog,
und zwar mit einem General.
Und so befahl der König,
die Schwerter zu schärfen,
die Bogenschützen aufzurüsten
und das Heer in Marsch zu setzen.
Eine Tour de Force wurde vorbereitet,
erzählt Alexandre Dumas am warmen Kamin
und raucht behaglich seine Pfeife.
Dann fährt er fort:
Doch als die Truppen losmarschierten
und ihre Schwerter in der Sonne funkelten,
da schlich sich jemand ins Schlafgemach
der schönen Königin, und dann …

Ach, hör doch auf mit den alten
trivialen Geschichten,
unterbricht ihn Jules Verne,
langweilig das Ganze,
altmodisch und keine Spur von Technologie.
Lass mich besser mal erzählen,
von Reisen, 20.000 Meilen unter dem Meer,
zum Mittelpunkt der Erde
oder in 80 Tagen um Welt.
Stell dir vor: um die ganze Welt!
Davon will ich erzählen,
nicht von Liebe, Hass und Leid
in den Betten der Herrscher.
Nicht solchen öden und obszönen Kram.

Ach, junger Freund,
was weißt du schon von der Welt,
sagt Dumas und versucht, sich zu beherrschen.
Schweig, und lass mich weiter erzählen,
von kühnen Helden, von Kabale und Intrigen
auf den Fluren der Paläste.
Hör auf, Alter, unterbricht Jules Verne erneut,
lass mich davon erzählen,
wie man die Zeit präzise berechnet,
wie man Pläne im Detail umsetzt.
Hübsche Busen und gierig geifernde Münder
von Generälen und Fürsten
bringen uns heute nicht mehr weiter …

Junger Freund! Was schert mich deine Reise,
20.000 Meilen unter dem Meer.
Glaubst du etwa, deine Figuren
würden es noch wagen, wieder aufzutauchen,
wenn sie oben von Generälen
mit gezückten Schwertern erwartet würden.
Alter, wenn man die Zukunft
berechnen, also manipulieren kann,
dann ist es doch ganz leicht,
1.000 Schwerter oder 1.000 Dumme
hinter sich zu scharen.
Aus technologischer Sicht
geht es in der Politik nur um …
Doch Jules Verne kommt nicht mehr dazu,
weiter zu erzählen, denn die Pfeife von Dumas
zerschellt an seiner Stirn.
Das lässt sich ein Jules Verne nicht bieten,
und ein Kerzenleuchter landet hart
auf der Nase von Dumas.
Es kommt zu einer Rangelei.
Draußen regnet es. Draußen ist es bitterkalt.
Da plötzlich hört man eine dritte,
meine Stimme:

Dürfte ich vielleicht
einige meiner Gedichte vortragen?
Gesänge aus einem tropischen Land,
so als kleine nette Unterhaltung für Paris?
Die beiden Dichter schauen mich an.
Bonjour, junger Gast!
Ja, einverstanden, sagt Jules Verne,
das Köpfchen von der süßen Antoinette
ist in unseren Herzen
ja auch lang genug herumgekugelt.
Allerdings, junger Gast, warum schreibst du
immer noch so rückständiges Zeug,
Geschichten von einem Volk,
das sich abmüht, um endlich Mitglied
des zivilisierten Teils der Menschheit zu werden.
Ich weiß genau, sagt Dumas,
dass Jules Verne, der Dummkopf,
es nicht wagen würde,
eine Reise in dein Land zu unternehmen.
Keinen Tag wollte er dort verbringen.
Und, ha-ha, tauchen würde er dort auch nicht,
nicht drei Meter tief,
in deinem stinkenden Meer aus Tränen.

Alter, tobt Jules Verne, dein Monte Christo
oder deine drei Musketiere, die würden
in jenem Land auch keine
Adeligen oder Offiziere sein wollen.
Stell dir mal vor:
Dort lebte einst eine gewisse Ageng Menir,
Schwiegertochter des Königs, ergeben und lieb,
aber am Ende hat man ihr den Schädel zerschmettert
und vor die Füße des Königs geworfen.

Werte Herren, geben Sie mir bitte Gelegenheit,
Ihnen etwas zu erklären. Ich komme zwar
aus einem Land der Dritten Welt,
doch auch dort gibt es Zuversicht,
gute Menschen, eine gute Zukunft.
Wir brauchen nur etwas Zeit,
dann werden Armut und Gewalt nur Staub sein
in Museen oder alten Büchern. Wir werden
unserem Land eine Zukunft bauen, die …

Ich halte inne. Es ist plötzlich still.
Dumas und Jules Verne sind verschwunden.
Die Buchhandlung Monte Christo ist weit weg.
Vor mir ist alles leer und verlassen.
Wind und Kälte wölben sich
wie die Kuppel von Sacré Coeur.
Ich schmiege mich in meinen Mantel,
suche torkelnd den Weg nach Haus.

Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser
aus: Gestatten, mein Name ist Trübsinn. Gedichte von Agus R. Sarjono.
Berlin: regiospectra Verlag 2015

Suatu Cerita dari Negeri Angin

indonésien | Agus R. Sarjono

Suatu Cerita dari Negeri Angin
Bendungan di kampungku yang dibangun
oleh seribu jam penataran, seratus upacara
dan sepuluh sangkur, pada sebuah subuh
berderak-derak dan runtuh. Airmata
yang berpuluh tahun tertahan
pecah menderas menyapu jalanan
lalu berobah menjadi genangan darah.
Orang-orang bergegas mengeramasi rambut
dan ingatannya di sana. Mereka pun berkeliaran
dengan kepala serupa labu dingin
menyusuri pelosok-pelosok pedesaan
sebagian bahkan menyamar
sebagai pembunuh bayaran.

Paman dan sepupuku yang memergokinya
jadi penasaran. Mereka pecahkan
kepala-kepala itu dengan batu
atau parang, siapa tahu ada sebersit saja ingatan
atau kenangan, ucapnya, semacam data misterius
sebagai bahan gunjingan dikala ronda malam.
Tapi tak ada apa-apa dalam kepala-kepala itu
kecuali gelembung sabun, seperti sisa pencucian
yang tak dibilas dengan teliti. Sebagian mereka
segera mengarak potongan kepala itu
seperti mengarak ingatan yang compang-camping
tentang sebuah saat sebuah musim
di sebuah negeri yang padat
berisi angin.

Tetanggaku yang gemar cerita, pernah menangkap
seorang pesulap yang entah mengapa sibuk
mengendap-endap di ruang tidur kampungnya.
Setelah dicekik dan ditebas lehernya,
ternyata tak sebuah ceritapun mengalir
dari kerongkongannya. Dari potongan
urat lehernya, hanya gas yang memancar keluar
diiringi denging sirine, semacam isyarat darurat
dari sebuah kapal yang tengah karam. Sejak itu
penduduk kampungku ramai-ramai melepas
kepala mereka dan menggantinya
dengan buah kelapa: keras dan berair.
Buat persiapan, ucap mereka, jika seluruh
kampung hangus terbakar, kepala kami
masih bisa basah menyimpan ingatan
tentang anak-anak tersayang yang mengembara
ke kota-kota, bersekolah atau bergelandangan
mengais hari depan. Tiba-tiba
di suatu malam anak-anak mereka bermunculan
dari balik gumpalan asap dan gas airmata
dengan tengkuk penuh peluru hingga semua bapak
tersedak dan ibu tersedu. Akhirnya, selepas musim panen
yang gagal karena hama dan cuaca busuk
dengan sabar mereka tanam kembali
anak-anak mereka di tengah sawah dan ladang.

Di sebuah pagi, entah bulan apa
entah tahun berapa, seluruh kampung kami
diwajibkan bergotong-royong membangun
bendungan itu kembali. Segera mereka curahkan
habis-habisan seluruh airmata mereka di sana
sambil berharap-harap barangkali saja
suatu hari kelak bisa mereka lepaskan
kelapa, semangka atau labu dari atas leher mereka.

Di bawah gerimis di sebuah sore entah bulan apa
entah tahun berapa, penduduk kampung itu
ramai-ramai memenuhi tepian bendungan untuk mengail
dan mencari kembali kepala mereka. Sungguh
lama mereka rindukan kepala yang biasa saja
lengkap dengan ingatan atau kenangan
tentu izin untuk memakainya kembali
sudah mereka urus bersama di kantor kepala desa
yang entah mengapa kini tampak tersipu
dan agak malu dengan kepala buaya
yang selama ini terpasang elok
di atas lehernya.

Dulu, di kampung kami seluruh penduduk
diwajibkan menjadi telinga. Mereka terbiasa
menerima gelembung-gelembung sabun dari mulut
licin para pengurus desa. Kini mereka bersukaria
bisa menjadi mulut. Tatkala mereka mulai pandai
membikin cerita, merekapun kecewa
tak ada lagi yang bersedia menjadi telinga
juga segala aparat desa hingga segala cerita baru
yang mereka susun itu tak lagi ada yang mendengarnya.
Dengan sabar, segala cerita yang mereka susun
mereka tanam diam-diam di sawah dan ladang
sambil membayang-bayangkan tibanya musim panen
ketika semua pohon tumbuh dan berbuah ribuan kisah.
Tapi salah satunya tumbuh kelewat cepat
dan berbuah cerita-cerita yang sama: panjang 
dan berulang

Bendungan di kampungku yang dibangun
oleh seribu jam penataran, seratus upacara
dan sepuluh sangkur, pada sebuah subuh
berderak-derak dan runtuh. Airmata
yang berpuluh tahun tertahan
pecah menderas menyapu jalanan
lalu berobah menjadi genangan darah.
Orang-orang bergegas mengeramasi rambut
dan ingatannya di sana. Mereka pun berkeliaran
dengan kepala serupa labu dingin
menyusuri pelosok-pelosok pedesaan
sebagian bahkan menyamar
sebagai pembunuh bayaran.

Paman dan sepupuku yang memergokinya
jadi penasaran. Mereka pecahkan
kepala-kepala itu dengan batu
atau parang, siapa tahu ada sebersit saja ingatan
atau kenangan, ucapnya, semacam data misterius
sebagai bahan gunjingan dikala ronda malam.
Tapi tak ada apa-apa dalam kepala-kepala itu
kecuali gelembung sabun, seperti sisa pencucian
yang tak dibilas dengan teliti. Sebagian mereka
segera mengarak potongan kepala itu
seperti mengarak ingatan yang compang-camping
tentang sebuah saat sebuah musim
di sebuah negeri yang padat
berisi angin.

Tetanggaku yang gemar cerita, pernah menangkap
seorang pesulap yang entah mengapa sibuk
mengendap-endap di ruang tidur kampungnya.
Setelah dicekik dan ditebas lehernya,
ternyata tak sebuah ceritapun mengalir
dari kerongkongannya. Dari potongan
urat lehernya, hanya gas yang memancar keluar
diiringi denging sirine, semacam isyarat darurat
dari sebuah kapal yang tengah karam. Sejak itu
penduduk kampungku ramai-ramai melepas
kepala mereka dan menggantinya
dengan buah kelapa: keras dan berair.
Buat persiapan, ucap mereka, jika seluruh
kampung hangus terbakar, kepala kami
masih bisa basah menyimpan ingatan
tentang anak-anak tersayang yang mengembara
ke kota-kota, bersekolah atau bergelandangan
mengais hari depan. Tiba-tiba
di suatu malam anak-anak mereka bermunculan
dari balik gumpalan asap dan gas airmata
dengan tengkuk penuh peluru hingga semua bapak
tersedak dan ibu tersedu. Akhirnya, selepas musim panen
yang gagal karena hama dan cuaca busuk
dengan sabar mereka tanam kembali
anak-anak mereka di tengah sawah dan ladang.

Di sebuah pagi, entah bulan apa
entah tahun berapa, seluruh kampung kami
diwajibkan bergotong-royong membangun
bendungan itu kembali. Segera mereka curahkan
habis-habisan seluruh airmata mereka di sana
sambil berharap-harap barangkali saja
suatu hari kelak bisa mereka lepaskan
kelapa, semangka atau labu dari atas leher mereka.

Di bawah gerimis di sebuah sore entah bulan apa
entah tahun berapa, penduduk kampung itu
ramai-ramai memenuhi tepian bendungan untuk mengail
dan mencari kembali kepala mereka. Sungguh
lama mereka rindukan kepala yang biasa saja
lengkap dengan ingatan atau kenangan
tentu izin untuk memakainya kembali
sudah mereka urus bersama di kantor kepala desa
yang entah mengapa kini tampak tersipu
dan agak malu dengan kepala buaya
yang selama ini terpasang elok
di atas lehernya.

Dulu, di kampung kami seluruh penduduk
diwajibkan menjadi telinga. Mereka terbiasa
menerima gelembung-gelembung sabun dari mulut
licin para pengurus desa. Kini mereka bersukaria
bisa menjadi mulut. Tatkala mereka mulai pandai
membikin cerita, merekapun kecewa
tak ada lagi yang bersedia menjadi telinga
juga segala aparat desa hingga segala cerita baru
yang mereka susun itu tak lagi ada yang mendengarnya.
Dengan sabar, segala cerita yang mereka susun
mereka tanam diam-diam di sawah dan ladang
sambil membayang-bayangkan tibanya musim panen
ketika semua pohon tumbuh dan berbuah ribuan kisah.
Tapi salah satunya tumbuh kelewat cepat
dan berbuah cerita-cerita yang sama: panjang
dan berulang

© Komodo Books
from: Suatu Cerita dari Negeri Angin
Komodo Books, 2011
Audio production: Haus für Poesie / 2015

Eine Geschichte aus dem Land der heißen Luft

allemand

Es geschah an einem frühen Morgen:
Der aus tausend Stunden Indoktrination,
hundert Zeremonien und zehn Bajonetten
errichtete Staudamm meines Dorfes brach.
Und dann ergossen sich die Tränen,
die jahrzehntelang zurückgehalten worden waren,
und durchfluteten die Straßen.
In einer Senke wurden sie zu einem Teich aus Blut.
Und die Menschen eilten hin zu diesem Teich
und wuschen sich darin die Haare, und wuschen
darin auch ihr Gedächtnis. Danach
sahen ihre Schädel aus wie Kürbisse.
Sie durchstreiften jeden Winkel meines Dorfes,
und manche unter ihnen hatten sich vermummt,
hatten sich als Mörder dingen lassen.

Beim Anblick dieser Horden
gerieten meine Verwandten
außer sich. Sie packten sich einzelne
und zerschmetterten deren Schädel mit Steinen
oder zerhackten die Schädel mit Beilen.
Und dann suchten sie darin nach Überresten
von Gedächtnis und Erinnerung.
Vielleicht, so meinten sie, wäre in diesen Schädeln
noch manch mysteriöses Datenmaterial,
das der Unterhaltung und Zerstreuung dienen könnte,
während des Wachehaltens in der Nacht.
Aber Daten waren nicht in diesen Schädeln,
darin war lediglich Schaum, der aussah
wie schlecht ausgespültes Shampoo.
In einer Prozession hat man
die Schädeltrümmer dann herumgetragen,
so als präsentiere man Fetzen der Erinnerung
an eine Zeit in einem Land,
das voll gewesen war bis obenhin
mit heißer Luft.
Ein Nachbar, der Geschichten liebt,
hat dann eine dunkle Gestalt überwältigt,
die im Schlafzimmer auf ihn lauerte.
Er erwürgte den Mann. Doch als er ihm
die Kehle durchgeschnitten hatte,
floss daraus keine einzige Geschichte.
Nur heiße Luft entwich,
unter Sirenengeheul, das klang
wie das Notsignal eines untergehenden Schiffes.
Nach diesem Vorfall entledigten sich
die Menschen meines Dorfes ihrer Schädel
und ersetzten sie durch Kokosnüsse.
Die hatten eine harte Schale
und darin war sehr viel Kokosmilch.
Und die Menschen sagten,
dass sie dies aus Vorsicht täten,
denn wenn irgendwann einmal
das Dorf abgefackelt werden würde,
dann blieben die Schädel noch feucht genug,
um die Erinnerungen zu bewahren an die Kinder,
die in die Stadt gezogen waren, um zu lernen
oder sich irgendwie durchzuschlagen.
Doch eines Nachts tauchten die Kinder
plötzlich auf im Dorf. Hinter ihnen
zogen Rauchschwaden und in der Luft
hing Tränengas. Im Genick der Kinder steckten
Kugeln. Da erstarrten die Väter und die Mütter
weinten. Doch nach der Ernte, die wegen Ungeziefers
und aufgrund der Wetterlage so schlecht ausfiel,
pflanzten sie die Kinder auf den Feldern
geduldig wieder ein.

Und eines Morgens, in irgendeinem Monat,
in irgendeinem Jahr,
da wurde unser Dorf verpflichtet,
jenen Damm instand zu setzen.
Danach standen alle auf dem Damm,
vergossen sämtliche Tränen, die sie noch hatten.
Und sie hofften, dass sie vielleicht irgendwann
die Kokosnüsse absetzen dürften,
die Kürbisse und die Melonen auf ihrem Hals.
Und im Nieselregen eines Nachmittags,
in irgendeinem Monat, in irgendeinem Jahr,
versammelten die Menschen meines Dorfes
sich wieder auf dem Damm, angelten nach
Schädeln, nach ihren alten, ihren eignen Schädeln.
Lange schon hatten sie sich danach gesehnt,
nach ihren ganz normalen Schädeln
mit Gedächtnis und Erinnerung.
Und die Genehmigung zur Wiederverwendung
derselben hatten sie bereits erhalten,
vom Dorfvorsteher, der, wer weiß warum,
bekümmert dastand und sich seines Alligatorschädels
schämte, den er bis dahin noch so stolz
auf seinem Hals zur Schau getragen hatte.

Früher waren die Menschen meines Dorfes
dazu verpflichtet gewesen, Ohren zu sein.
Waren daran gewöhnt gewesen,
den Schaum zu akzeptieren,
der ausgetreten war aus den seifigen,
tückischen Mündern der Machthaber.
Heute sind sie froh darüber,
dass sie mittlerweile Münder sind.
Doch nun, nachdem sie endlich in der Lage sind
Geschichten zu erzählen, sind sie tief enttäuscht,
dass keiner mehr Ohr sein will,
um ihnen zuzuhören, was auch für die
Dorfbehörden gilt. Und so hört niemand
all die neuen von ihnen verfassten Geschichten.

Und so pflanzen sie heimlich, doch voller Geduld,
die Geschichten in Felder und Gärten.
Und hoffen, dass die Zeit der Ernte komme,
in der hoch gewachsne Bäume Früchte tragen,
Früchte mit Geschichten, Tausenden Geschichten.
Doch einer jener Bäume könnte allzu rasch
gewachsen sein, und in seinen Früchten
wäre immer nur wieder dieselbe Geschichte:
Die wäre lang, und darin würde sich alles
stets aufs Neue wiederholen

Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser
aus: Gestatten, mein Name ist Trübsinn. Gedichte von Agus R. Sarjono.
Berlin: regiospectra Verlag 2015

Demokrasi Dunia Ketiga

indonésien | Agus R. Sarjono

Kalian harus demokratis. Baik, tapi jauhkan
tinju yang kau kepalkan itu dari pelipisku
bukankah engkau… Tutup mulut! Soal tinjuku
mau kukepalkan, kusimpan di saku
atau kutonjokkan ke hidungmu,
tentu sepenuhnya terserah padaku.
Pokoknya kamu harus demokratis. Lagi pula
kita tidak sedang bicara soal aku, tapi soal kamu
yaitu kamu harus demokratis!

Tentu saja saya setuju, bukankah selama ini
saya telah mencoba… Sudahlah! Kami tak mau dengar
apa alasanmu. Tak perlu berkilah
dan buang waktu. Aku perintahkan kamu
untuk demokratis, habis perkara! Ingat
gerombolan demokrasi yang kami galang
akan melindasmu habis. Jadi jangan macam-macam
Yang penting kamu harus demokratis.
Awas kalau tidak!

© Komodo Books
from: Suatu Cerita dari Negeri Angin
Komodo Books, 2001
Audio production: Haus für Poesie / 2015

Demokratie der Dritten Welt

allemand

Du musst demokratisch sein! Jaja, schon gut,
aber zieh doch bitte die geballte Faust
von meiner Schläfe zurück. Du hast doch . . .
Halt’s Maul! Ob ich meine Faust balle,
in der Hosentasche verberge, oder dir
damit auf die Nase schlage, ist allein meine Sache.
Werd du erst mal demokratisch!
Nur darum geht es hier, also um dich
und keinesfalls um mich.

Natürlich, ich bin einverstanden, und ich hab es doch
bereits versucht . . . Schluss jetzt! Deine
Ausreden interessieren mich nicht. Jetzt
verschwende keine Zeit, denn ich befehle dir,
demokratisch zu sein. Basta! Und sei dir
über eins im Klaren: die demokratischen Horden,
die ich mobilisiert habe, werden dich sonst
niedermachen und vernichten.
Also los, werd demokratisch!
Wehe dir, wenn nicht!

Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser
aus: Gestatten, mein Name ist Trübsinn. Gedichte von Agus R. Sarjono.
Berlin: regiospectra Verlag 2015

Airmata Hujan

indonésien | Agus R. Sarjono

Jangan bidikkan aku, ronta Bedil sambil menggigil. Diam!
Bentak Tangan. Aku harus meledakkan anak-anak itu.
Tapi mereka masih belia! Lihatlah senyumnya yang muda
dan mereka tidak meminta selain kesejahteraanmu juga.
Bukankah engkau sering mengumpati gaji yang tak cukup
nafas hidup yang sempit, hingga harus berderap kian-kemari
mengutip sesuap nasi.

Jangan bidikkan aku, raung Bedil. Diam!
Ini bukan persoalan pribadi, hardik Tangan.
Ini masalah politik. Satu dua nyawa
sebagai taktik. Tapi ini bukan soal angka,
bukan soal satu dua
tapi soal ibu meratap kehilangan,
soal dimusnahkannya satu kehidupan
soal masa depan manusia yang dibekam. Soal hak …
Tutup mulutmu barang dinas! Kamu hanya alat

dan jangan berpendapat. Itu urusan politisi di majelis sana.
Tapi mereka hanya bahagia! Sergah bedil.
Mereka tak pernah peduli padamu, pada mereka,
pada yang miskin dan teraniaya.
Mereka tak mengurusi siapa-siapa
selain dirinya. Dor! Bedil itu tersentak. Jangan …
D or .. dor .. dor .. dor…  Selesai  sudah

gumam Tangan. Bukankah ini sudah berlebihan, isak Bedil.
Entahlah, gumam Tangan, aku tak tahu. Aku penat.
Aku hanya ingin istirahat. Semoga istri
dan anak-anakku di rumah sana
semuanya selamat.

Bedil itupun menjelma hujan. Tak putus-putusnya
mencurahkan airmata. 

© Komodo Books
from: Suatu Cerita dari Negeri Angin
Komodo Books, 2001
Audio production: Haus für Poesie / 2015

Regentränen

allemand

Ziel bitte nicht mit mir auf Menschen,
fleht das Gewehr und versucht sich los zu reißen.
Lass mich! fährt die Hand
es an. Ich muss diese Demonstranten in die Luft jagen.
Aber das sind doch alles junge Leute!
Schau dir die Kindergesichter doch an.
Und schließlich demonstrieren sie auch
für deine Belange. Du hast dich doch auch
stets darüber beklagt, dass dein Sold nicht
ausreicht, dass du dich so plagen musst
für jeden Mundvoll Reis.

Ziel bitte nicht mit mir auf Menschen!
bettelt das Gewehr. Schweig,
hier geht es nicht um Menschen,
schreit die Hand, hier geht’s um Politik!
Ein, zwei Opfer, das ist Teil der Strategie.
Aber jetzt geht’s doch ums Prinzip
und nicht um Zahlen. Hier geht es um trauernde Mütter,
um Vernichtung von Leben,
um die Zukunft unterdrückter Menschen.
Schweig, du bist nur ein Werkzeug,
ein Mittel zum Zweck,

und das Recht auf eine Meinung hast du
nicht. Ein solches Recht
haben nur die Volksvertreter, dort im Parlament.

Aber die denken doch nur an sich, entgegnet das Gewehr,
und du bist denen ganz egal,
genauso wie die Demonstranten,
und für die Armen und die Unterdrücken
haben diese Leute nie etwas getan.
Sie handeln nur im eigenen Interesse. BUMM!
Das Gewehr fährt zusammen. Nein, tu es nicht!
BUMM . . . BUMM . . . BUMM . . . Das wär’s,

sagt die Hand. Musste das wirklich sein,
stöhnt das Gewehr. Ich weiß nicht,
murmelt die Hand. Ich bin müde.
Ich muss mich ausruhen.
Hoffentlich geht’s meiner Frau
und meinen Kinder gut zu Hause.

Und das Gewehr verwandelt sich eine Wolke. Und lässt
Tränen regnen. Und hört nicht mehr damit auf.

Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser
aus: Gestatten, mein Name ist Trübsinn. Gedichte von Agus R. Sarjono.
Berlin: regiospectra Verlag 2015

Celan

indonésien | Agus R. Sarjono

Pada jantung sejarah yang berdarah
ketemui Paul Celan diam-diam mengajar bunda
sang waktu dan benih malam untuk berjalan. Tapi waktu
dan malam berhenti dalam genangan susu hitam
tempat mayat-mayat perempuan berambut kelabu
mengambang pilu. Siapakah tajam kapak-kapak
jika bukan Yang Dipertuan Adipati Kehampaan?
Disandingkannya maut kencana dengan bibir cinta
jasad asmara dengan pusara gelak tawa
pinggul ratapan dengan tengkuk kehidupan
semua dijalinnya sepasang-sepasang
seperti merangkai yang bukan matamu
bukan mataku dan bukan matanya
dalam jalinan selendang berkibaran
gelap dan muram
bagai candu dan ingatan.

Bunda malang yang tiada pulang, kekasih
yang dibakar dan berkubur lapang di angkasa,
menggali sumur luka di jantung kenangan
tempat rasa bersalah menjelma susu hitam
yang ditimba oleh dia yang tersisa,
dia yang luput dan lari untuk bahagia.
Di tempat itu pula Issac
Bashevis Singer berkutat bebaskan budak
dalam diri, menulis musuh
dalam kisah cinta sejati. Tapi trauma
dan masa lalu bagai mantan istri
selalu memaksa rujuk kembali

Dalih adalah maestro dari rembang ingatan
Bahkan pada momen-momen jingga
Pada nadi hidup yang berdegup mesra,
selalu ada dalih untuk tak bahagia.

© Komodo Books
from: Lumbung Perjumpaan
Komodo Books, 2011
Audio production: Haus für Poesie / 2015

Celan

allemand

Im blutenden Herz der Geschichte
stieß ich auf Paul Celan. Er lehrte die Mutter
der Zeit und auch die Saat der Nacht zu gehen. Doch
hemmte die Zeit und die Nacht eine Flut schwarzer Milch.
Darin trieben leidvoll die Leichen von Frauen
mit aschenem Haar. Die Schärfe jener Axt,
das ist der Herzog der Leere!
Der vermählt den güldenen Tod mit liebenden Lippen,
die Leiche der Lust mit der Gruft allen Lachens,
die schlanken Hüften des Leids
mit roten Wangen des Lebens,
er flicht sie zu Paaren,
so wie er das verwebt, was nicht dein Aug,
was auch nicht meines, auch nicht seines,
er fügt’s aneinander im Flechtwerk des wehenden Tuches,
das düster ist, dunkel wie Mohn
und Gedächtnis.

Arme Mutter, die nicht heimkam,
die Stammverwandten sind verbrannt, sie haben ein Grab
in den Lüften, sie bohrten den Brunnen der Schmerzen
im Herzen der Erinnerung, darin die Schuld
in schwarze Milch sich wandelte, geschöpft von dem,
der übrigblieb, dem, der entkam
um Glückes willen. War es so schwer

Geretteter zu sein? War alles Leid getilgt,
als mit der schönen Geliebten
der Leib geteilt
und Lust getauscht ward,
mit jener Nachfahrin der Bauern,
die auf Kummeräckern
Leiber pflanzten, Seelen jäteten?

Ein trauriger Vogel schwirrt einsam,
seine Flügel sind Erinnerung, aschen
und schwer, furchtsam flattert er,
hin und her, bald im Goldhaar der Geliebten,
bald in den langen aschenen Haaren
am toten Leib der Mutter.
Haare, die fesseln: wie ein Fallstrick,
straff gespannt,
bis hinein in jeden Grabeswinkel.

Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser
aus: Gestatten, mein Name ist Trübsinn. Gedichte von Agus R. Sarjono.
Berlin: regiospectra Verlag 2015

Surat Lorena

indonésien | Dorothea Rosa Herliany

masih kausimpankah pisau itu?
jangan kaubasuh darahnya. masih kudengar erangan manis itu.
kucatat dalam berhalaman buku cinta. kita baca malammalam,
ketika darah mendidih dan memancur bersama nafas
yang memburu.

kaunikmati ketakberdayaan.
seperti ikan yang kau pelihara dalam rahimmu.
menggelepar dalam lumatanlumatan nafsu
dan rintihan halus dan gaib dari mulut terbukamu.

masih kausimpankah pisau itu?
sebelum kaucapai puncak cinta, ribuan wanita
akan menghunus dan menikamkannya: entah pada
daratan tubuh dan gumpalan daging yang mana.

2000

© Dorothea Rosa Herliany

Lorenas Brief

allemand

hast du dieses Messer noch?
so wisch das Blut nicht ab. ich höre noch die süßen
Schmerzenslaute. alles hielt ich fest auf den Seiten
des Buches der Liebe. wir lasen es nächtens, da
kochte das Blut, es sprudelte, und unser Atem jagte.

du genossest die Ohnmacht.
wie einen Fisch, den du in deinem Schoße aufbewahrst.
der zappelt in der Wollust und den sanften, wundersamen
Lauten aus deinem offenen Mund.

hast du dieses Messer noch?
noch eh du deiner Wollust Gipfel hast erklommen
da wird’s gezückt von Tausenden von Frauen, die
stechen’s tief: hinein in den Balg, hinein
in jeden Klumpen Fleisch.

2000

Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser

Sebuah Radio Kumatikan

indonésien | Dorothea Rosa Herliany

seperti inilah, aku letakkan ranjang dalam dadamu.
kujadikan ronggarongga sempit itu kamarcintaku.
suatu hari nanti, akan berjejal lagulagu dan tangisan.
rintihan kecil dan jeritan tibatiba. dan kaukirim aku
ke tanahasing: dengan dentum dan suaraangin dari
nafasmu.

seperti inilah, aku letakkan tempatsampah dalam
otakmu. kujadikan gumpalan zat itu suduttakberguna.
suatu hari nanti, akan berjejal entahapa. telah sesak
ruang sempit itu oleh rencanarencana dan bencana.

tadi, kita telah berkhianat dengan cinta. kauledakkan
aku dengan zakarmu. kuletakkan ulatulat di sana. sampai
saatnya nanti, siap memangkas daunhatimu.

seperti inilah kita: merenda kemungkinankemungkinan.
suatu hari nanti—dalam otakmu, dalam dadamu, dalam
perutmu—kutanam bangkaibangkaiulat. suatu hari nanti,
akan kaupanen kupukupu.

1993

© Dorothea Rosa Herliany

Ein Radio, ich schalt es aus

allemand

in deiner Brust, an einem Tag dereinst, werden
Tränen sich drängen und Lieder. und du wirst dich
getröstet fühlen.

in deinem Hirn, an einem Tag dereinst, wird sich
wer weiß was drängen. schon übervoll ist jener enge Raum
mit Plänen und mit Schicksalsschlägen.

auf allen Wellen hörst du
Lieder und Klagelitaneien. Viren gleich
und wimmelnden Raupen: sie
stutzen das Laub deiner Seele.

stets weben wir an Möglichkeiten:
an einem Tag dereinst, in dein Hirn, in deine Brust,
in deinen Leib wirst du die toten Raupen pflanzen.
an einem Tag dereinst, wirst du
die Schmetterlinge ernten.

1993

Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser

Nikah Pisau

indonésien | Dorothea Rosa Herliany

aku sampai entah di mana. berputar-putar
dalam labirin. perjalanan terpanjang
tanpa peta. dan inilah warna gelap paling
sempurna. kuraba gang di antara sungai
dan jurang.

ada jerit, serupa nyanyi. mungkin dari
mulutku sendiri. kudengar erangan, serupa
senandung. mungkin dari mulutku sendiri.

tapi inilah daratan dengan keasingan paling
sempurna: tubuhmu yang bertaburan ulatulat
kuabaikan. sampai kurampungkan kenikmatan
sanggama. sebelum merampungkanmu juga: menikam
jantung dan merobek zakarmu, dalam segala
ngilu.

1992

© Dorothea Rosa Herliany

Vermählung, scharf wie ein Messer

allemand

mich hat es verschlagen, ich weiß nicht wohin.
ich drehe mich im Kreise, wie in einem Labyrinth.
endlos lange Reise, ohne Karte, ohne Plan.
und diese Dunkelheit ist die vollkommenste.
ich ertaste den Pfad zwischen
Abhang und Fluss.

ein Seufzen, wie ein Lied. aus meinem Mund
vielleicht. ich hör ein Klagen, es klingt wie
eine Melodie. aus meinem Mund vielleicht.

doch dies ist das Land, dessen Anderssein
vollkommen ist: dein Körper ist mit Maden übersät
das stört mich nicht. bis ich ein Ende setze
meiner Lust am Koitus, bevor ein Ende
ich auch dir bereite: ein Messer
stech ich in dein Herz, dein Glied
zerfetze ich, in tiefstem Schmerz.

1992

Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser

Nikah Pelacur Tak Punya Tubuh

indonésien | Dorothea Rosa Herliany

kau bawa aku ke bukit asing: pengembaraan matahari
yang menyebarkan harum keringat golgota. kematian dan
kebangkitan: ekstase dari perjalanan abjad dan kitab.

“yesus, kaupetakan nikmat pencarian dan ziarah.
perjalanan berabad di antara doa dan mazmur tak
diucapkan. kucari peta dan kubaca arah yang mengabur
di telapak tangan dan sabda nabinabi.”

aku cuma pelacur yang tak punya surga. kubawa tubuh
kemanamana. kutawarkan geliat kekosongan dan
dongengdongeng cinta. dalam sebait nafas dan keringat.
serigala yang melolong. dendam malam di antara gigil
ketakutan hewanhewanliar.

aku membawa hati di antara kekosongan cinta yang
amat kusut. kutawarkan kepada semua lelaki
yang melukis angin di matanya.

“yesus, beri aku kenikmatan cinta yang asing
beri aku ledakanledakan dan derak ranjang yang asing.
beri aku segala yang tak dipunyai lelaki.
tapi bukan surga!”

aku merangkak di bukitbukit entahapa. segala habis
di antara kekosongan angin dan katakata. di antara
suara gumam para pembaca ayatayat malaikat dan
loncenglonceng berkeleneng. aku cuma pelacur yang
enggan mencari pintu dan derak bangkubangku
di antara doa.

aku cuma pelacur yang menawarnawarkan dosa, tapi
kusimpan di antara ayatayat yang tak pernah dibaca,
yang mencari ladang dan membajak bukitbukit.
menanam keringat dan gemetar luka yang tumbuh
jadi kebun mawar.

lelaki, mencibirlah di antara dekapanku!

1996

© Dorothea Rosa Herliany

Vermählung einer Hure ohne Körper

allemand

du geleitest mich auf einen seltsam-fremden Hügel: Durchwanderung
der Sonne, die den Duft des Schweißes Golgathas verbreitet.
Tod und Auferstehung: Verzückter Höhepunkt des Wegs
von Alphabet und Schrift.

»Jesus, du verzeichnetest die Wonnen von Suche und von Pilgerfahrt.
den Weg durch die Jahrhunderte zwischen Psalmen und Gebeten
die nie gesprochen, nie gesungen wurden. auf der Karte suchte ich
die Richtung zu erkennen, sie verschwamm auf der Fläche meiner Hand
in den Worten der Propheten.«

eine Hure bin ich nur, habe keinen Himmel. meinen Körper schleppe ich
überallhin. ich biete die Gesten der Leere an und die Märchen
von der Liebe. in einem Vers von Atem und von Schweiß.
Wölfe heulen. erfüllt von Hass und Rache ist die Nacht, ich
schaudere vor Angst vor wilden Tieren.

ich bringe dar mein Herz in sinnloser verworrner
Liebe. allen Männern diene ich es an
die den Wind in ihren Augen malen.

»Jesus, schenk mir neue wundersame Liebeswonnen
schenk mir Eruptionen und ein laut’ Geknarr der Liegestatt.
schenk mir alles, was die Männer nicht besitzen.
doch schenk mir nicht das Himmelreich!«

ich kriech auf irgendwelchen Hügeln. alles verliert sich
in der Leere zwischen Wind und Wort. taucht unter
in gehauchten Engelsversen und dem Geläut von Glocken.
ich bin nur eine Hure, die nicht bereit ist, eine Tür zu suchen
oder das Geknarr von Bänken mitten im Gebet.

ich bin nur eine Hure und biete meine Sünden an, doch
halt ich sie verborgen unter Versen, welche ungelesen.
ich suche Äcker, pflüge Hügel. ich pflanze Schweiß und
Wundenpein, daraus erwächst ein Rosengarten.

ihr Männer in meinen Armen
was stört mich euer Spott und Hohn!

1996

Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser

Nikah Maria

indonésien | Dorothea Rosa Herliany

tubuhku masih kusisakan bagi seratus peziarah.
satwasatwa berlari melawan mata angin.
serangga mendengung dan menggeriap di pusarnya.
tumbuhan mati dan hangus. tak ada lagi
upacara penebusan itu.

yesus menyalibku di golgota tua
dan mengubur hatiku di tanah kana’an.
nafsuku padam di sodom dan gomora.
cintaku terinjak ribuan musafir di gurun gobi.

santa maria, dekaplah tubuh yang mendidih ini.
jilat dan gigitlah seperti kembara yang haus.
jelajahi tanpa sisa. kulumuri tubuhku
dengan anggur dan darah
bagi dosa yang sesungguhnya.
lalu, kukecup liang vaginamu yang perawan.
satu dengusan saja.

tapi, jangan biarkan jiwaku tua dan padam!

santa maria bunda allah yang suci.
kubur tubuhku dalam segala ketaksadaran hidup.
agar puisi cintaku legam dan abadi.

Bonn, 2002

© Dorothea Rosa Herliany
Bonn

Hochzeit mit Maria

allemand

meinen Leib lass ich Hunderten von Pilgern übrig.
den irrenden Tieren, die sich gegen alle Stürme stemmen.
den Insekten, die im Aug des Sturmes sirren.
den welken und versengten Pflanzen. Bußrituale
finden nicht mehr statt.

Jesus hat mich am alten Golgatha gekreuzigt
und mein Herz begraben in der Erde Kanaans.
meine Lust verlosch in Sodom und Gomorrha
auf meine Liebe traten tausend Wandrer in der Wüste Gobi.

heilige Maria, streichle diesen siedenden Leib.
leck und beiß ihn mit der Gier einer Verdurstenden.
erforsch ihn, laß nichts aus. Ich rieb ihn ein
mit Wein und Blut
um der wahren Sünde willen.
dann küß ich deine jungfräuliche Vagina.
kurz, ein Schnauben lang.

doch laß nicht zu, dass meine Seele alt wird und verlischt!

heilige Maria, Mutter Gottes.
begrabe meinen Leib in der Unbewußtheit.
auf dass meiner Liebe Poesie ewig sei und laut erschalle.

Bonn, 2002

Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser

Elegi Sinta

indonésien | Dorothea Rosa Herliany

aku sinta yang urung membakar diri.
demi darah suci
bagi lelaki paling pengecut bernama rama.
lalu aku basuh tubuhku, dengan darah hitam.
agar hangat gelora cintaku.
tumbuh di padang pendakian yang paling hina.

kuburu rahwana,
dan kuminta ia menyetubuhi nafasku
menuju kehampaan langit.
kubiarkan terbang, agar tangan yang
takut dan kalah itu tak mampu menggapaiku.

siapa bilang cintaku putih? mungkin abu,
atau bahkan segelap hidupku.
tapi dengarlah ringkikku yang indah.
menggosongkan segala yang keramat dan abadi.

kuraih hidupku, tidak dalam api
–rumah bagi para pendosa.
tapi dalam kesunyian yang sia-sia dan papa.
agar sejarahku terpisah dari para penakut
dan pendusta. rama…

Prambanan, 2002

© Dorothea Rosa Herliany
Prambanan

Sintas Elegie

allemand

ich bin Sinta, ich verweigerte den Tod in Flammen.
um heilgen Blutes willen mochte ich nicht sterben
für den feigsten aller Männer, Rama.
ich wasche meinen Leib mit schwarzem Blut.
auf dass meine Liebe lodre.
dass sie gedeihe auf dem kärglichsten der steilen Felder.

ich jag Rahwana nach und fleh ihn an:
schlaf meinem Atem bei  
auf dass er steige, hinauf in die Leere des Himmels.
fliegen lass ich ihn, damit sie mich nicht fassen können
jene feigen und besiegten Hände.

wer sagt, dass meine Liebe weiß sei? grau vielleicht,
oder gar so dunkel wie mein Leben.
doch lauscht meinem süßen Wimmern.
wie es leer macht alles Heilige und Ew'ge.

ich gewann mein Leben, nicht im Feuer
jener Stätte für die Sünder.
ich gewann's in eitler elendiger Einsamkeit.
so nur sind von meinem Lauf geschieden
all die Feiglinge und Lügner. Rama ...


Prambanan, 2002

Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser

Buku Harian Perkawinan

indonésien | Dorothea Rosa Herliany

ketika menikahimu, tak kusebut keinginan setia.
engkau bahkan telah menjadi budak penurutku.
dunia yang kumiliki kubangun di atas bukit batu
dan padang ilalang. kau bajak jadi ladang subur
yang mesti kupanen dalam setiap dengus nafsuku.
kupelihara ribuan hewan liar, kujadikan prajurit
yang akan menjaga dan memburumu.
dan kutanam bambu untuk gagang tombak dan sembilu.

berlarilah sejauh langkah kejantananmu, lelaki!
bersembunyilah di antara ketiak ibumu,
membaca gerak tubuh dan persemaian segala
tumbuhan bijak: ajarilah aku membangun rumah dan
dindingtakberpintu. memenjara penyerahanku
yang kaubaca dengan bahasamu.

tapi aku menikahimu tidak untuk setia.
kubiarkan diriku bertarung di setiap medan peperangan.
aku panglima untuk sepasukan hewanhewan liarku
--yang selalu bergairah memandangmu
di atas meja makan.

sekarang biarlah kudekap engkau,
sebelum kulunaskan puncak laparku!

2000

© Dorothea Rosa Herliany

Aus dem Tagebuch der Ehe

allemand

bei unsrer Heirat sprach ich nicht von Treue.
und mittlerweile tust du alles, was ich will.
ich baute meine Welt auf Felsenhügeln
und auf Steppengras: du pflügtest dieses Land
bis dass es fruchtbar war, ich erntete
in den Atemzügen meiner Lust.
tausende von wilden Tieren halt ich mir
als Soldaten, die dich überwachen und dich jagen.
ich pflanze Bambus, daraus schnitze ich
spitze Speere, spitze Messer.

lauf, Mann, so weit dich deine Männerbeine tragen!
versteck dich in den Achselhöhlen deiner Mutter.
schau auf diesen sich räkelnden Körper und verstreue
weise deine Saat: lehre mich
ein türenloses Haus zu bauen. sperr
meine Unterwerfung ein, die du
in deiner Sprache liest.

doch nicht um treu zu sein, heiratete ich dich.
ich nehme mir das Recht, auf jedem Schlachtfeld
meinen Kampf zu führen. Truppen
von wilden Tieren führ ich an
die stets darauf versessen sind
dich auf dem Esstisch gierig zu betrachten.

doch jetzt umarm ich dich
bevor ich meinen heißen Hunger stillen werde!

2000

Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser

abendnachrichten

allemand | Hans Magnus Enzensberger

massaker um eine handvoll reis,
höre ich, für jeden an jedem tag
eine handvoll reis: trommelfeuer
auf dünnen hütten, undeutlich
höre ich es, beim abendessen.

auf den glasierten ziegeln
höre ich reiskörner tanzen,
eine handvoll, beim abendessen,
reiskörner auf meinem dach:
den ersten märzregen, deutlich.

© Suhrkamp Verlag Frankfurt am Main 1964
from: blindenschrift. Gedichte
Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1964
Audio production: Suhrkamp Verlag Frankfurt 1995

Berita Malam

indonésien

Bantai-membantai demi sesuap nasi,
kudengar, sesuap nasi untuk tiap orang
pada tiap hari: berondongan artileri
pada gubuk-gubuk rapuh, samar
kudengar, sambil makan malam.

Di genteng-genteng mengkilat
kudengar butiran nasi menari,
sesuap, sambil makan malam,
butiran nasi di atapku: hujan maret
yang pertama, alangkah jelasnya.

terjemahan Indonesia oleh Berthold Damshäuser & Agus R. Sarjono
[Ins Indonesische übertragen von Berthold Damshäuser und Agus R. Sarjono]

A

allemand | Hans Magnus Enzensberger

Bevor du B sagst, verweile doch,
horch, bedenk,
was du gesagt hast. Ein Vokal,
der wenig bedeutet,
viel in Bewegung setzt.
Einmal den Mund aufgemacht,
und du treibst deine sterbliche Hülle
zu Leistungen an
von kosmischer Komplexität:
ganze Kaskaden von Reizen,
Berechnungen, Turbulenzen,
hinter dem Rücken dessen,
der Ich ist – vom Gehirn,
das nicht redet
und jeder Wissenschaft spottet,
zu schweigen.

© Suhrkamp Verlag Frankfurt am Main 1995
from: Kiosk. Neue Gedichte
Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1995
ISBN: 3-518-40680-9
Audio production: Suhrkamp Verlag Frankfurt 1995

A

indonésien

Sebelum kau ucapkan B rehatlah sejenak,
simak dan renungkan
yang telah kau ucapkan. Sebuah vokal
yang maknanya sedikit,
namun menggerakkan banyak.
Sekali buka mulut,
kau memaksa jasad fanamu
hasilkan prestasi
sekompleks kosmos:
petasan rangsang,
kalkulasi, turbulensi,
tanpa setahu dia
yang adalah Aku – belum lagi otak
yang membisu 
dan penuh cemooh
luput dari sains apapun.

terjemahan Indonesia oleh Berthold Damshäuser & Agus R. Sarjono
[Ins Indonesische übertragen von Berthold Damshäuser und Agus R. Sarjono]