Suatu Cerita dari Negeri Angin

Suatu Cerita dari Negeri Angin
Bendungan di kampungku yang dibangun
oleh seribu jam penataran, seratus upacara
dan sepuluh sangkur, pada sebuah subuh
berderak-derak dan runtuh. Airmata
yang berpuluh tahun tertahan
pecah menderas menyapu jalanan
lalu berobah menjadi genangan darah.
Orang-orang bergegas mengeramasi rambut
dan ingatannya di sana. Mereka pun berkeliaran
dengan kepala serupa labu dingin
menyusuri pelosok-pelosok pedesaan
sebagian bahkan menyamar
sebagai pembunuh bayaran.

Paman dan sepupuku yang memergokinya
jadi penasaran. Mereka pecahkan
kepala-kepala itu dengan batu
atau parang, siapa tahu ada sebersit saja ingatan
atau kenangan, ucapnya, semacam data misterius
sebagai bahan gunjingan dikala ronda malam.
Tapi tak ada apa-apa dalam kepala-kepala itu
kecuali gelembung sabun, seperti sisa pencucian
yang tak dibilas dengan teliti. Sebagian mereka
segera mengarak potongan kepala itu
seperti mengarak ingatan yang compang-camping
tentang sebuah saat sebuah musim
di sebuah negeri yang padat
berisi angin.

Tetanggaku yang gemar cerita, pernah menangkap
seorang pesulap yang entah mengapa sibuk
mengendap-endap di ruang tidur kampungnya.
Setelah dicekik dan ditebas lehernya,
ternyata tak sebuah ceritapun mengalir
dari kerongkongannya. Dari potongan
urat lehernya, hanya gas yang memancar keluar
diiringi denging sirine, semacam isyarat darurat
dari sebuah kapal yang tengah karam. Sejak itu
penduduk kampungku ramai-ramai melepas
kepala mereka dan menggantinya
dengan buah kelapa: keras dan berair.
Buat persiapan, ucap mereka, jika seluruh
kampung hangus terbakar, kepala kami
masih bisa basah menyimpan ingatan
tentang anak-anak tersayang yang mengembara
ke kota-kota, bersekolah atau bergelandangan
mengais hari depan. Tiba-tiba
di suatu malam anak-anak mereka bermunculan
dari balik gumpalan asap dan gas airmata
dengan tengkuk penuh peluru hingga semua bapak
tersedak dan ibu tersedu. Akhirnya, selepas musim panen
yang gagal karena hama dan cuaca busuk
dengan sabar mereka tanam kembali
anak-anak mereka di tengah sawah dan ladang.

Di sebuah pagi, entah bulan apa
entah tahun berapa, seluruh kampung kami
diwajibkan bergotong-royong membangun
bendungan itu kembali. Segera mereka curahkan
habis-habisan seluruh airmata mereka di sana
sambil berharap-harap barangkali saja
suatu hari kelak bisa mereka lepaskan
kelapa, semangka atau labu dari atas leher mereka.

Di bawah gerimis di sebuah sore entah bulan apa
entah tahun berapa, penduduk kampung itu
ramai-ramai memenuhi tepian bendungan untuk mengail
dan mencari kembali kepala mereka. Sungguh
lama mereka rindukan kepala yang biasa saja
lengkap dengan ingatan atau kenangan
tentu izin untuk memakainya kembali
sudah mereka urus bersama di kantor kepala desa
yang entah mengapa kini tampak tersipu
dan agak malu dengan kepala buaya
yang selama ini terpasang elok
di atas lehernya.

Dulu, di kampung kami seluruh penduduk
diwajibkan menjadi telinga. Mereka terbiasa
menerima gelembung-gelembung sabun dari mulut
licin para pengurus desa. Kini mereka bersukaria
bisa menjadi mulut. Tatkala mereka mulai pandai
membikin cerita, merekapun kecewa
tak ada lagi yang bersedia menjadi telinga
juga segala aparat desa hingga segala cerita baru
yang mereka susun itu tak lagi ada yang mendengarnya.
Dengan sabar, segala cerita yang mereka susun
mereka tanam diam-diam di sawah dan ladang
sambil membayang-bayangkan tibanya musim panen
ketika semua pohon tumbuh dan berbuah ribuan kisah.
Tapi salah satunya tumbuh kelewat cepat
dan berbuah cerita-cerita yang sama: panjang 
dan berulang

Bendungan di kampungku yang dibangun
oleh seribu jam penataran, seratus upacara
dan sepuluh sangkur, pada sebuah subuh
berderak-derak dan runtuh. Airmata
yang berpuluh tahun tertahan
pecah menderas menyapu jalanan
lalu berobah menjadi genangan darah.
Orang-orang bergegas mengeramasi rambut
dan ingatannya di sana. Mereka pun berkeliaran
dengan kepala serupa labu dingin
menyusuri pelosok-pelosok pedesaan
sebagian bahkan menyamar
sebagai pembunuh bayaran.

Paman dan sepupuku yang memergokinya
jadi penasaran. Mereka pecahkan
kepala-kepala itu dengan batu
atau parang, siapa tahu ada sebersit saja ingatan
atau kenangan, ucapnya, semacam data misterius
sebagai bahan gunjingan dikala ronda malam.
Tapi tak ada apa-apa dalam kepala-kepala itu
kecuali gelembung sabun, seperti sisa pencucian
yang tak dibilas dengan teliti. Sebagian mereka
segera mengarak potongan kepala itu
seperti mengarak ingatan yang compang-camping
tentang sebuah saat sebuah musim
di sebuah negeri yang padat
berisi angin.

Tetanggaku yang gemar cerita, pernah menangkap
seorang pesulap yang entah mengapa sibuk
mengendap-endap di ruang tidur kampungnya.
Setelah dicekik dan ditebas lehernya,
ternyata tak sebuah ceritapun mengalir
dari kerongkongannya. Dari potongan
urat lehernya, hanya gas yang memancar keluar
diiringi denging sirine, semacam isyarat darurat
dari sebuah kapal yang tengah karam. Sejak itu
penduduk kampungku ramai-ramai melepas
kepala mereka dan menggantinya
dengan buah kelapa: keras dan berair.
Buat persiapan, ucap mereka, jika seluruh
kampung hangus terbakar, kepala kami
masih bisa basah menyimpan ingatan
tentang anak-anak tersayang yang mengembara
ke kota-kota, bersekolah atau bergelandangan
mengais hari depan. Tiba-tiba
di suatu malam anak-anak mereka bermunculan
dari balik gumpalan asap dan gas airmata
dengan tengkuk penuh peluru hingga semua bapak
tersedak dan ibu tersedu. Akhirnya, selepas musim panen
yang gagal karena hama dan cuaca busuk
dengan sabar mereka tanam kembali
anak-anak mereka di tengah sawah dan ladang.

Di sebuah pagi, entah bulan apa
entah tahun berapa, seluruh kampung kami
diwajibkan bergotong-royong membangun
bendungan itu kembali. Segera mereka curahkan
habis-habisan seluruh airmata mereka di sana
sambil berharap-harap barangkali saja
suatu hari kelak bisa mereka lepaskan
kelapa, semangka atau labu dari atas leher mereka.

Di bawah gerimis di sebuah sore entah bulan apa
entah tahun berapa, penduduk kampung itu
ramai-ramai memenuhi tepian bendungan untuk mengail
dan mencari kembali kepala mereka. Sungguh
lama mereka rindukan kepala yang biasa saja
lengkap dengan ingatan atau kenangan
tentu izin untuk memakainya kembali
sudah mereka urus bersama di kantor kepala desa
yang entah mengapa kini tampak tersipu
dan agak malu dengan kepala buaya
yang selama ini terpasang elok
di atas lehernya.

Dulu, di kampung kami seluruh penduduk
diwajibkan menjadi telinga. Mereka terbiasa
menerima gelembung-gelembung sabun dari mulut
licin para pengurus desa. Kini mereka bersukaria
bisa menjadi mulut. Tatkala mereka mulai pandai
membikin cerita, merekapun kecewa
tak ada lagi yang bersedia menjadi telinga
juga segala aparat desa hingga segala cerita baru
yang mereka susun itu tak lagi ada yang mendengarnya.
Dengan sabar, segala cerita yang mereka susun
mereka tanam diam-diam di sawah dan ladang
sambil membayang-bayangkan tibanya musim panen
ketika semua pohon tumbuh dan berbuah ribuan kisah.
Tapi salah satunya tumbuh kelewat cepat
dan berbuah cerita-cerita yang sama: panjang
dan berulang

© Komodo Books
De: Suatu Cerita dari Negeri Angin
Komodo Books, 2011
Producción de Audio: Haus für Poesie / 2015

Eine Geschichte aus dem Land der heißen Luft

Es geschah an einem frühen Morgen:
Der aus tausend Stunden Indoktrination,
hundert Zeremonien und zehn Bajonetten
errichtete Staudamm meines Dorfes brach.
Und dann ergossen sich die Tränen,
die jahrzehntelang zurückgehalten worden waren,
und durchfluteten die Straßen.
In einer Senke wurden sie zu einem Teich aus Blut.
Und die Menschen eilten hin zu diesem Teich
und wuschen sich darin die Haare, und wuschen
darin auch ihr Gedächtnis. Danach
sahen ihre Schädel aus wie Kürbisse.
Sie durchstreiften jeden Winkel meines Dorfes,
und manche unter ihnen hatten sich vermummt,
hatten sich als Mörder dingen lassen.

Beim Anblick dieser Horden
gerieten meine Verwandten
außer sich. Sie packten sich einzelne
und zerschmetterten deren Schädel mit Steinen
oder zerhackten die Schädel mit Beilen.
Und dann suchten sie darin nach Überresten
von Gedächtnis und Erinnerung.
Vielleicht, so meinten sie, wäre in diesen Schädeln
noch manch mysteriöses Datenmaterial,
das der Unterhaltung und Zerstreuung dienen könnte,
während des Wachehaltens in der Nacht.
Aber Daten waren nicht in diesen Schädeln,
darin war lediglich Schaum, der aussah
wie schlecht ausgespültes Shampoo.
In einer Prozession hat man
die Schädeltrümmer dann herumgetragen,
so als präsentiere man Fetzen der Erinnerung
an eine Zeit in einem Land,
das voll gewesen war bis obenhin
mit heißer Luft.
Ein Nachbar, der Geschichten liebt,
hat dann eine dunkle Gestalt überwältigt,
die im Schlafzimmer auf ihn lauerte.
Er erwürgte den Mann. Doch als er ihm
die Kehle durchgeschnitten hatte,
floss daraus keine einzige Geschichte.
Nur heiße Luft entwich,
unter Sirenengeheul, das klang
wie das Notsignal eines untergehenden Schiffes.
Nach diesem Vorfall entledigten sich
die Menschen meines Dorfes ihrer Schädel
und ersetzten sie durch Kokosnüsse.
Die hatten eine harte Schale
und darin war sehr viel Kokosmilch.
Und die Menschen sagten,
dass sie dies aus Vorsicht täten,
denn wenn irgendwann einmal
das Dorf abgefackelt werden würde,
dann blieben die Schädel noch feucht genug,
um die Erinnerungen zu bewahren an die Kinder,
die in die Stadt gezogen waren, um zu lernen
oder sich irgendwie durchzuschlagen.
Doch eines Nachts tauchten die Kinder
plötzlich auf im Dorf. Hinter ihnen
zogen Rauchschwaden und in der Luft
hing Tränengas. Im Genick der Kinder steckten
Kugeln. Da erstarrten die Väter und die Mütter
weinten. Doch nach der Ernte, die wegen Ungeziefers
und aufgrund der Wetterlage so schlecht ausfiel,
pflanzten sie die Kinder auf den Feldern
geduldig wieder ein.

Und eines Morgens, in irgendeinem Monat,
in irgendeinem Jahr,
da wurde unser Dorf verpflichtet,
jenen Damm instand zu setzen.
Danach standen alle auf dem Damm,
vergossen sämtliche Tränen, die sie noch hatten.
Und sie hofften, dass sie vielleicht irgendwann
die Kokosnüsse absetzen dürften,
die Kürbisse und die Melonen auf ihrem Hals.
Und im Nieselregen eines Nachmittags,
in irgendeinem Monat, in irgendeinem Jahr,
versammelten die Menschen meines Dorfes
sich wieder auf dem Damm, angelten nach
Schädeln, nach ihren alten, ihren eignen Schädeln.
Lange schon hatten sie sich danach gesehnt,
nach ihren ganz normalen Schädeln
mit Gedächtnis und Erinnerung.
Und die Genehmigung zur Wiederverwendung
derselben hatten sie bereits erhalten,
vom Dorfvorsteher, der, wer weiß warum,
bekümmert dastand und sich seines Alligatorschädels
schämte, den er bis dahin noch so stolz
auf seinem Hals zur Schau getragen hatte.

Früher waren die Menschen meines Dorfes
dazu verpflichtet gewesen, Ohren zu sein.
Waren daran gewöhnt gewesen,
den Schaum zu akzeptieren,
der ausgetreten war aus den seifigen,
tückischen Mündern der Machthaber.
Heute sind sie froh darüber,
dass sie mittlerweile Münder sind.
Doch nun, nachdem sie endlich in der Lage sind
Geschichten zu erzählen, sind sie tief enttäuscht,
dass keiner mehr Ohr sein will,
um ihnen zuzuhören, was auch für die
Dorfbehörden gilt. Und so hört niemand
all die neuen von ihnen verfassten Geschichten.

Und so pflanzen sie heimlich, doch voller Geduld,
die Geschichten in Felder und Gärten.
Und hoffen, dass die Zeit der Ernte komme,
in der hoch gewachsne Bäume Früchte tragen,
Früchte mit Geschichten, Tausenden Geschichten.
Doch einer jener Bäume könnte allzu rasch
gewachsen sein, und in seinen Früchten
wäre immer nur wieder dieselbe Geschichte:
Die wäre lang, und darin würde sich alles
stets aufs Neue wiederholen

Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser
aus: Gestatten, mein Name ist Trübsinn. Gedichte von Agus R. Sarjono.
Berlin: regiospectra Verlag 2015