Agus R. Sarjono
Suatu Cerita dari Negeri Angin
Suatu Cerita dari Negeri Angin
Suatu Cerita dari Negeri Angin
Bendungan di kampungku yang dibangun
oleh seribu jam penataran, seratus upacara
dan sepuluh sangkur, pada sebuah subuh
berderak-derak dan runtuh. Airmata
yang berpuluh tahun tertahan
pecah menderas menyapu jalanan
lalu berobah menjadi genangan darah.
Orang-orang bergegas mengeramasi rambut
dan ingatannya di sana. Mereka pun berkeliaran
dengan kepala serupa labu dingin
menyusuri pelosok-pelosok pedesaan
sebagian bahkan menyamar
sebagai pembunuh bayaran.
Paman dan sepupuku yang memergokinya
jadi penasaran. Mereka pecahkan
kepala-kepala itu dengan batu
atau parang, siapa tahu ada sebersit saja ingatan
atau kenangan, ucapnya, semacam data misterius
sebagai bahan gunjingan dikala ronda malam.
Tapi tak ada apa-apa dalam kepala-kepala itu
kecuali gelembung sabun, seperti sisa pencucian
yang tak dibilas dengan teliti. Sebagian mereka
segera mengarak potongan kepala itu
seperti mengarak ingatan yang compang-camping
tentang sebuah saat sebuah musim
di sebuah negeri yang padat
berisi angin.
Tetanggaku yang gemar cerita, pernah menangkap
seorang pesulap yang entah mengapa sibuk
mengendap-endap di ruang tidur kampungnya.
Setelah dicekik dan ditebas lehernya,
ternyata tak sebuah ceritapun mengalir
dari kerongkongannya. Dari potongan
urat lehernya, hanya gas yang memancar keluar
diiringi denging sirine, semacam isyarat darurat
dari sebuah kapal yang tengah karam. Sejak itu
penduduk kampungku ramai-ramai melepas
kepala mereka dan menggantinya
dengan buah kelapa: keras dan berair.
Buat persiapan, ucap mereka, jika seluruh
kampung hangus terbakar, kepala kami
masih bisa basah menyimpan ingatan
tentang anak-anak tersayang yang mengembara
ke kota-kota, bersekolah atau bergelandangan
mengais hari depan. Tiba-tiba
di suatu malam anak-anak mereka bermunculan
dari balik gumpalan asap dan gas airmata
dengan tengkuk penuh peluru hingga semua bapak
tersedak dan ibu tersedu. Akhirnya, selepas musim panen
yang gagal karena hama dan cuaca busuk
dengan sabar mereka tanam kembali
anak-anak mereka di tengah sawah dan ladang.
Di sebuah pagi, entah bulan apa
entah tahun berapa, seluruh kampung kami
diwajibkan bergotong-royong membangun
bendungan itu kembali. Segera mereka curahkan
habis-habisan seluruh airmata mereka di sana
sambil berharap-harap barangkali saja
suatu hari kelak bisa mereka lepaskan
kelapa, semangka atau labu dari atas leher mereka.
Di bawah gerimis di sebuah sore entah bulan apa
entah tahun berapa, penduduk kampung itu
ramai-ramai memenuhi tepian bendungan untuk mengail
dan mencari kembali kepala mereka. Sungguh
lama mereka rindukan kepala yang biasa saja
lengkap dengan ingatan atau kenangan
tentu izin untuk memakainya kembali
sudah mereka urus bersama di kantor kepala desa
yang entah mengapa kini tampak tersipu
dan agak malu dengan kepala buaya
yang selama ini terpasang elok
di atas lehernya.
Dulu, di kampung kami seluruh penduduk
diwajibkan menjadi telinga. Mereka terbiasa
menerima gelembung-gelembung sabun dari mulut
licin para pengurus desa. Kini mereka bersukaria
bisa menjadi mulut. Tatkala mereka mulai pandai
membikin cerita, merekapun kecewa
tak ada lagi yang bersedia menjadi telinga
juga segala aparat desa hingga segala cerita baru
yang mereka susun itu tak lagi ada yang mendengarnya.
Dengan sabar, segala cerita yang mereka susun
mereka tanam diam-diam di sawah dan ladang
sambil membayang-bayangkan tibanya musim panen
ketika semua pohon tumbuh dan berbuah ribuan kisah.
Tapi salah satunya tumbuh kelewat cepat
dan berbuah cerita-cerita yang sama: panjang
dan berulang
Bendungan di kampungku yang dibangun
oleh seribu jam penataran, seratus upacara
dan sepuluh sangkur, pada sebuah subuh
berderak-derak dan runtuh. Airmata
yang berpuluh tahun tertahan
pecah menderas menyapu jalanan
lalu berobah menjadi genangan darah.
Orang-orang bergegas mengeramasi rambut
dan ingatannya di sana. Mereka pun berkeliaran
dengan kepala serupa labu dingin
menyusuri pelosok-pelosok pedesaan
sebagian bahkan menyamar
sebagai pembunuh bayaran.
Paman dan sepupuku yang memergokinya
jadi penasaran. Mereka pecahkan
kepala-kepala itu dengan batu
atau parang, siapa tahu ada sebersit saja ingatan
atau kenangan, ucapnya, semacam data misterius
sebagai bahan gunjingan dikala ronda malam.
Tapi tak ada apa-apa dalam kepala-kepala itu
kecuali gelembung sabun, seperti sisa pencucian
yang tak dibilas dengan teliti. Sebagian mereka
segera mengarak potongan kepala itu
seperti mengarak ingatan yang compang-camping
tentang sebuah saat sebuah musim
di sebuah negeri yang padat
berisi angin.
Tetanggaku yang gemar cerita, pernah menangkap
seorang pesulap yang entah mengapa sibuk
mengendap-endap di ruang tidur kampungnya.
Setelah dicekik dan ditebas lehernya,
ternyata tak sebuah ceritapun mengalir
dari kerongkongannya. Dari potongan
urat lehernya, hanya gas yang memancar keluar
diiringi denging sirine, semacam isyarat darurat
dari sebuah kapal yang tengah karam. Sejak itu
penduduk kampungku ramai-ramai melepas
kepala mereka dan menggantinya
dengan buah kelapa: keras dan berair.
Buat persiapan, ucap mereka, jika seluruh
kampung hangus terbakar, kepala kami
masih bisa basah menyimpan ingatan
tentang anak-anak tersayang yang mengembara
ke kota-kota, bersekolah atau bergelandangan
mengais hari depan. Tiba-tiba
di suatu malam anak-anak mereka bermunculan
dari balik gumpalan asap dan gas airmata
dengan tengkuk penuh peluru hingga semua bapak
tersedak dan ibu tersedu. Akhirnya, selepas musim panen
yang gagal karena hama dan cuaca busuk
dengan sabar mereka tanam kembali
anak-anak mereka di tengah sawah dan ladang.
Di sebuah pagi, entah bulan apa
entah tahun berapa, seluruh kampung kami
diwajibkan bergotong-royong membangun
bendungan itu kembali. Segera mereka curahkan
habis-habisan seluruh airmata mereka di sana
sambil berharap-harap barangkali saja
suatu hari kelak bisa mereka lepaskan
kelapa, semangka atau labu dari atas leher mereka.
Di bawah gerimis di sebuah sore entah bulan apa
entah tahun berapa, penduduk kampung itu
ramai-ramai memenuhi tepian bendungan untuk mengail
dan mencari kembali kepala mereka. Sungguh
lama mereka rindukan kepala yang biasa saja
lengkap dengan ingatan atau kenangan
tentu izin untuk memakainya kembali
sudah mereka urus bersama di kantor kepala desa
yang entah mengapa kini tampak tersipu
dan agak malu dengan kepala buaya
yang selama ini terpasang elok
di atas lehernya.
Dulu, di kampung kami seluruh penduduk
diwajibkan menjadi telinga. Mereka terbiasa
menerima gelembung-gelembung sabun dari mulut
licin para pengurus desa. Kini mereka bersukaria
bisa menjadi mulut. Tatkala mereka mulai pandai
membikin cerita, merekapun kecewa
tak ada lagi yang bersedia menjadi telinga
juga segala aparat desa hingga segala cerita baru
yang mereka susun itu tak lagi ada yang mendengarnya.
Dengan sabar, segala cerita yang mereka susun
mereka tanam diam-diam di sawah dan ladang
sambil membayang-bayangkan tibanya musim panen
ketika semua pohon tumbuh dan berbuah ribuan kisah.
Tapi salah satunya tumbuh kelewat cepat
dan berbuah cerita-cerita yang sama: panjang
dan berulang